Bengkulunews.com, Indonesia – Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan dokumen persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden sebagai informasi yang dirahasiakan menuai kontroversi. Publik mempertanyakan dasar hukum serta transparansi dari kebijakan tersebut. Sementara itu, pihak Istana memberikan tanggapan yang menekankan independensi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Artikel ini akan membahas latar belakang keputusan, kritik yang muncul, hingga respons resmi pemerintah.

KPU Rahasiakan Dokumen Capres
Pada awal September 2025, KPU menerbitkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025. Dalam keputusan tersebut, setidaknya 16 dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden masuk kategori informasi publik yang dikecualikan. Artinya, dokumen seperti ijazah, riwayat hidup, hingga data pribadi kandidat tidak dapat diakses masyarakat secara bebas.
Langkah KPU ini langsung mengundang sorotan. Banyak pihak menilai kerahasiaan justru bertolak belakang dengan prinsip transparansi pemilu. Publik memiliki hak untuk mengetahui keabsahan dokumen yang diajukan para calon, apalagi terkait syarat utama seperti ijazah pendidikan.
Kritik dari Kalangan Akademisi dan Masyarakat
Sejumlah pengamat pemilu dan organisasi masyarakat sipil menilai keputusan KPU berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa informasi publik harus terbuka, kecuali yang bersifat rahasia karena menyangkut keamanan negara atau privasi tertentu.
Menurut pengamat, ijazah dan dokumen persyaratan pencalonan seharusnya bisa diakses agar publik dapat melakukan pengawasan. Transparansi adalah kunci menjaga integritas pemilu. Jika dokumen ditutup, muncul kekhawatiran bahwa isu keaslian syarat pencalonan dapat dipelintir tanpa dasar yang jelas.
Argumen KPU
KPU membela keputusan tersebut dengan alasan perlindungan data pribadi. Ketua KPU menyatakan bahwa dokumen calon presiden dan wakil presiden mengandung informasi sensitif yang bisa disalahgunakan. Misalnya, nomor induk kependudukan, alamat pribadi, atau data keluarga.
Menurut KPU, keterbukaan informasi tetap berlaku, tetapi ada batasan tertentu demi melindungi privasi kandidat. KPU juga menegaskan bahwa semua dokumen diverifikasi secara internal oleh lembaga, sehingga keabsahannya dijamin tanpa harus dibuka ke publik.
Respons Istana
Polemik semakin ramai ketika publik menunggu sikap Istana. Wakil Menteri Sekretaris Negara, Juri Ardiantoro, menyampaikan bahwa Istana tidak dapat mengintervensi keputusan KPU. Menurutnya, KPU adalah lembaga independen yang punya kewenangan penuh dalam mengatur teknis pemilu, termasuk soal keterbukaan dokumen.
Istana menekankan bahwa keputusan KPU bersifat internal dan bersandar pada aturan yang berlaku. Pemerintah tidak dalam posisi untuk mencampuri. Jika ada keberatan, jalur yang tersedia adalah melalui mekanisme hukum atau sengketa informasi publik.
Implikasi terhadap Demokrasi
Keputusan KPU rahasiakan dokumen capres-cawapres menimbulkan pertanyaan serius. Apakah ini langkah maju dalam melindungi privasi, atau justru mundur dari prinsip keterbukaan?
Di satu sisi, perlindungan data pribadi memang penting. Kandidat presiden dan wakil presiden pun berhak atas keamanan informasi sensitif mereka. Namun di sisi lain, transparansi menjadi pilar demokrasi. Tanpa akses publik, isu integritas dokumen rawan dipolitisasi.
Publik yang kritis melihat adanya potensi konflik kepentingan. Misalnya, jika ada calon dengan dokumen yang bermasalah, masyarakat tidak bisa memverifikasi secara langsung. Akibatnya, kecurigaan dapat berkembang menjadi isu liar.

Perbandingan dengan Pemilu Sebelumnya
Jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, dokumen persyaratan calon biasanya dapat diakses lebih terbuka. Misalnya, pada pemilu 2019, sebagian dokumen bahkan dipublikasikan melalui laman resmi KPU. Hal ini dimaksudkan untuk memberi ruang bagi masyarakat melakukan kontrol sosial.
Perubahan sikap KPU kali ini dianggap janggal oleh sebagian kalangan. Mereka mempertanyakan mengapa justru di era keterbukaan informasi, KPU mengambil langkah sebaliknya. Padahal, transparansi seharusnya menjadi standar minimum dalam proses pemilu.
Tanggapan Partai Politik
Beberapa partai politik ikut menyoroti kebijakan ini. Ada yang mendukung dengan alasan menjaga privasi calon, tetapi tidak sedikit yang mengkritik keras. Partai oposisi, misalnya, menilai keputusan KPU bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap hasil verifikasi calon presiden.
Partai-partai juga menekankan bahwa masyarakat berhak tahu tentang legalitas syarat calon. Apalagi, presiden dan wakil presiden adalah pejabat publik tertinggi di negara ini. Dokumen mereka seharusnya menjadi contoh keterbukaan.
Perspektif Hukum
Dari sisi hukum, ada ruang perdebatan. UU Keterbukaan Informasi Publik memang mengatur pengecualian informasi. Namun, pasal pengecualian biasanya diterapkan pada dokumen yang benar-benar mengancam keamanan atau hak pribadi yang tidak relevan dengan jabatan publik.
Para pakar hukum tata negara berpendapat, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden tidak bisa dikategorikan sebagai rahasia murni. Sebab, dokumen itu menyangkut kepentingan publik. Oleh karena itu, KPU perlu menjelaskan secara detail dasar hukum yang digunakan.
Reaksi Masyarakat Sipil
Organisasi pemantau pemilu seperti Perludem menyatakan keberatan. Mereka menilai langkah KPU melemahkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya pemilu. Padahal, pengawasan publik merupakan elemen penting untuk mencegah kecurangan dan menjaga legitimasi hasil pemilu.
Beberapa kelompok masyarakat bahkan berencana mengajukan sengketa informasi publik ke Komisi Informasi. Langkah ini dianggap sebagai cara formal untuk menguji apakah keputusan KPU sesuai dengan peraturan perundangan.
Tantangan ke Depan
Kontroversi ini menjadi ujian bagi demokrasi Indonesia. Apakah KPU mampu menyeimbangkan antara perlindungan privasi dan keterbukaan? Apakah publik bisa percaya sepenuhnya pada verifikasi internal lembaga, tanpa bukti yang dapat mereka lihat?
Jawaban atas pertanyaan ini akan berpengaruh besar pada kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu 2029 mendatang. Tanpa transparansi yang memadai, potensi delegitimasi bisa semakin besar.

Penutup
Keputusan KPU rahasiakan dokumen capres-cawapres menimbulkan perdebatan luas. Istana menegaskan tidak ikut campur, karena menghormati independensi KPU. Namun, kritik dari masyarakat sipil, partai politik, dan pakar hukum menunjukkan bahwa isu keterbukaan informasi tetap menjadi tuntutan utama.
Apapun alasan yang melatarbelakangi, KPU perlu memberi penjelasan terbuka agar tidak menimbulkan kecurigaan. Demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh dengan partisipasi publik dan transparansi penuh.